Kamis, 27 November 2014

POSTUR APBD KOTA BANDUNG, SUDAH PRO RAKYAT ?

Bukabukaan,--
Memasuki akhir tahun 2014, Pemerintah Kota Bandung (eksekutif/Legislatif) sedang disibukkan penyusunan APBD tahun 2015. Hal yang pasti, masyarakat sangat berharap APBD tahun 2015 berorientasi pada pembangunan yang merata dan berkeadilan. Salah satu ciri pemerintah yang melaksanakan pembangunan secara merata dan berkeadilan adalah disusunnya postur APBD yang efektif, akuntabel dan transparan. Postur APBD adalah instrumen paling utama dibidang kebijakan fiskal yang memiliki peranan strategis menentukan kemajuan pembangunan suatu daerah.

Mengacu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang telah diubah terakhir dengan Peraturan Mendagri No  21/2011, struktur APBD terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja Daerah, dan Pembiayaan daerah. Belanja daerah dibagi menjadi 2 kelompok belanja. Pertama belanja tidak langsung (Belanja Aparatur) terdiri dari belanja pegawai (gaji), belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bansos, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, serta belanja tak terduga. Kedua belanja langsung meliputi, belanja pegawai (honorarium), belanja barang dan jasa serta belanja modal.
Postur APBD kota Bandung, Sudah pro Rakyat ?
Menjawab pertanyaan ini sangatlah mudah, tinggal menghitung perbandingan antara alokasi belanja aparatur vs alokasi belanja publik . Harus diakui, belum ada ketentuan yang bisa  dijadikan acuan “standar proporsional” agar penyusunan APBD dapat optimal, efektif dan efisien. Namun Idealnya belanja aparat harus jauh lebih kecil dibanding belanja publik. Artinya Dana yang dihimpun dari masyarakat benar-benar dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.

Untuk mengetahui postur APBD Bandung tahun 2014, dapat dilihat rincian sbb;





















Tabel -1 : Postur APBD Kota Bandung Tahun 2014
Berdasar analisa rincian pada tabel-1, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan terhadap postur APBD kota Bandung tahun 2014, sebagai berikut  ;
1.      Prosentasi perbandingan nilai PAD terhadap Pendapatan Daerah ; 34,9%.
Artinya sumber pendapatan pemda Kota Bandung dalam kondisi dependable (ketergantungan/belum mandiri) terhadap dana perimbangan pusat. Apalagi prosentase terbesar dana perimbangan,adalah  untuk alokasi  DAU (82,5%).
2.      Prosentasi Belanja Tidak langsung (belanja aparatur) cukup tinggi ; 44 %.
Artinya postur APBD kota Bandung belum pro Rakyat, tidak proporsional.
Jika dicermati lebih dalam, bahwa total prosentasi belanja pegawai kota Bandung mencapai angka 40,8 %, sedangkan sisanya belanja publik 59,2 %.  Padahal jika dihitung berdasar proporsional jiwa, SANGAT TIDAK BERIMBANG. Data statistik di kota Bandung menunjukan ;
Jumlah PNS (pegawai) di kota Bandung                       :                  22.456  orang
Jumlah Penduduk (publik) di Kota bandung :            2.182.661  orang



Transparansi Publik
Untuk mengevaluasi besaran belanja publik yang ideal di dalam APBD kota Bandung, salah satu faktor yang harus diutamakan adalah adanya transparansi publik yaitu keterbukaan timbal balik antara pejabat (eksekutif maupun legislatif) dengan masyarakat luas. Hal ini sesuai intruksi Mendagri Nomor 188.52/1797/SJ tentang Peningkatan Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah. Masyarakat seharusnya bisa melihat ringkasan dokumen-dokumen tersebut di koran-koran daerah, website Pemda, dll. Selama ini dokumen APBD adalah dokumen yang keramat dan hanya pihak eksekutif/legislatif yang tahu. Seharusnya publik diberi informasi yang memadai, bahwa anggaran pemerintah ini dikelola secara akuntabel, transparan dan pro publik, terutama yang menyangkut anggaran untuk kebutuhan dasar (pendidikan, kesehatan, infrastrukur dan kemiskinan).
Sebenarnya bagi sosok Ridwan Kamil, S.T., MUD, sebagai walikota Bandung yang visioning,  terbangunnya transparansi anggaran adalah hal yang sangat menguntungkan. Transparansi anggaran akan menjadi sebuah energi besar yang luar biasa, yang akan mendukung percepatan mewujudkan ribuan gagasan beliau. Dengan terbangunnya Transparansi anggaran, maka masyarakat secara otomatis akan ikut serta melakukan pengawasan penggunaan anggaran di lapangan.
Banyak program pemerintah pada level “judul” sudah sangat bagus. Tapi di tingkat realisasi, perlu dipaparkan kepada masyarakat sebagai bentuk transparansi.
Contoh 1,  Belanja Bidang Perumahan di Dinas Cipta Karya Kota Bandung ;








Dari uraian anggaran tersebut, sudah sepatutnya ada transparansi tentang hal-hal sbb ;
1.      Terkait Belanja Barang Jasa ;
a.       Berapa harga satuan untuk rumah/bangunan yang dijadikan sasaran pembangunan ?
b.      Berapa jumlah sasaran yang sudah direalisasikan pada tahun 2014 ?
c.       Dimana Lokasi Sasaran tersebut ?
d.      Bagaimana teknis penggunaan anggaran terkait perpres no. 70 tahun 2012 tentang pengadaan barang dan jasa ?
2.      Terkait Belanja Pegawai.
a.       Berapa Jumlah pegawai (PNS) yang dilibatkan dalam pembangunan tersebut, sehingga nilai belanja pegawai mencapai angka Rp. 1.327.525.000,-  ?
3.      ...., dan masih ada ratusan pertanyan-pertamnyaan yang perlu di jelaskan.
Contoh 2 ;  Belanja untuk Hibah dan Bansos tahun 2014.

Belanja Hibah
Rp.  180.020.565.000,-
Belanja Bansos
Rp.  100.546.000.000,-


Anggaran Hibah dan Bansos, saat ini menjadi salah satu primadona kasus aparat penegak hukum di seluruh Indonesia. Salah satunya adalah kota Bandung yang belakangan dilanda “Badai Tsunami” akibat penyalahgunaan dana HIBAH dan BANSOS.
Berkaca dari pengalaman tersebut, sudah seharusnya pemerintah kota Bandung lebih transparan dalam hal data-data penerima Hibah Bansos, yang tentunya untuk menghindari hal-hal yang tidak diharapkan dikemudian hari.


Ditulis :
Drs. Riana
Pemerhati  Anggaran Kota Bandung
Ketua West Java Zero Corruption.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar